BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak teori yang
menjelaskan mengenai kedatangan islam ke Indonesia, baik mengenai asal-usul,
waktu, dan para pembawanya. Terdapat teori yang mengatakan bahwa agama islam
masuk ke Indonesia telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan islam di
sekitar abad ke-7 M / 1 H, dan langsung dari Arab atau Persia. Namun, ada pula
yang mengatakan bahwa agama islam masuk ke Indonesia pada abad ke-11 M / 5 H.
Bahkan ada yang berpendapat islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M dan
berasal dari Gujarat atau India. Agama islam masuk Indonesia secara periodik,
tidak sekaligus. Terdapat beberapa cara yang dipergunakan dalam penyebaran
islam di Indonesia, seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, dan tasawuf. sejak zaman prsejarah, penduduk indonesia di kenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi
lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah
ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia
dengan berbagai daerah di daratan Asia
Tenggara. Wilayah barat nusantara dan
sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah
yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang di jual di sana
menarik bagi para pedagang dan menjadi
daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting
Sumatera dan Jawa antara abad ke 1 dan ke 7
sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri Aceh, Barus dan Palembang di
Sumatera. Sunda Kelapa dan Gresik di
Jawa. Mereka yang
datang ke Indonesia bertujuan berdagang
sekaligus menyebarkan agama yang mereka
anut yaitu Islam.
B. Rumusan Masalah
B. Rumusan Masalah
·
Apa itu islam nusantara secara pendekatan sosiologis, filosofis, dan
historis?
·
Bagaimana karakteristik islam nusantara berdasarkan fiqih, teologi, dan
tasawuf?
·
Bagaimana peran ulama (walisongo) dalam pengembngan islam nusantara?
·
Bagaimana praktek islam nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara?
·
Apa pro dan kontra islam nusantara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam Nusantara
1.
Sosiologis
Islam nusantara adalah islam
distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi destruktif
dan vernakularisasi islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di
Indonesia. Islam nusantara yang kaya dengan warisan islam menjadi harapan
renaisans peradaban islam global yang akan berakulturasi dengan tatanan dunia
baru.
2. Historis
2. Historis
Islam nusantara adalah sebagai hasil ijma dan ijtihad para
ulama nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab min
adillatiha-tafshiliyah. Islam nusantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala
sabili-rujhan. Islam nusantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para
ulama nusantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk
dihormati, dan untuk kita teladani.
3. Filosofis
3. Filosofis
Islam nusantara adalah islam sinkretik
yang merupakan gabungan nilai islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal
(non-teologis), budaya dan adat istiadat di tanah air.
B. Karakteristik Islam Nusantara
B. Karakteristik Islam Nusantara
Menurut istilah, Islam Nusantara
harus bermula memahami pola dan karakter keislaman masyarakat muslim nusantara
yang memang mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan corak keislaman Timur
Tengah, tempat asal islam itu berkembang. Gagasan islam nusantara bukan sebuah
aliran baru sebagaimana
sempalan dan firqah, tetapi adalah sebagai upaya yang mencoba memotret
keislaman dalam domain kawasan, sebagaimana yang pernah disarankan oleh Gusdur yang menantang para ilmuan islam untuk
membuat teoritik apa yang disebut dengan studi islam berdasarkan kawasan.
Gusdur telah membuat hipothesa bahwa ada enam studi kawasan islam : kawasan Timur Tengah, Afrika,
daratan India, Asia Tengah termasuk Rusia, Nusantara dan
Eropa. Menurut Gusdur masing-masing
memiliki karakteristik yang menonjol.
Dalam konteks karakteristik islam nusantara
dapat dilihat setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu:
1. islam nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya islam dapat berkembang dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang terbaik.
2. penganut setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol dalam diri Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara berpikir islam timur tengah.
3. para ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer dan yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit adalah mazhab syafi’i, sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat Islam Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
4. mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain sebagainya yang sangat populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah kemudian islam nusantara menjadi islam yang sangat harmoni, toleran, dan menghargai pluralitas sebagai watak asli ajaran tasawuf.
5. dalam bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak
6. adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya.
7. visi islam rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat islam berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi. Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia maupun diakhirat.
8. dalam memahami nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i, seperti wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman, dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi. Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash.
a) Fiqih
1. Sempurna. Syariat Islam diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat. Bagi hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad pemuka masyarakat.
2. Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat diterima di semua tempat dan di setiap saat. Selain itu, umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.
3. Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat belaku sepanjang masa.
4. Elastis. Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh manusia.
5. Universal dan Dinamis. Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa batas, tidak seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
6. Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada umatnya di muka bumi. Al-Qur’an juga merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.
7. Sistematis. Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
8. Perintah sholat dalam al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Perintah beriman dan bertakwa senantiasa dibarengi dengan perintah beramal saleh. Ini berarti hukum Islam tidak mandul yang hanya berkutat pada hubungan vertikal kepada Allah dan hanya berupa keyakinan semata. Akan tetapi merupakan hukum yang menyatu dengan hubungan horizontal sesama manusia dan hukum yang harus diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
9. Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi. Hukum Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di samping dua sumber pokok tersebut, ajaran Islam juga memiliki sumber lain yaitu konsensus masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah satu hukum yang berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah).
10. Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat ajaran yang bersifat ta’abbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan ada yang bersifat ta’aqquli (bersifat rasional).
b) Teologi
1. islam nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya islam dapat berkembang dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang terbaik.
2. penganut setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol dalam diri Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara berpikir islam timur tengah.
3. para ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer dan yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit adalah mazhab syafi’i, sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat Islam Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
4. mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain sebagainya yang sangat populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah kemudian islam nusantara menjadi islam yang sangat harmoni, toleran, dan menghargai pluralitas sebagai watak asli ajaran tasawuf.
5. dalam bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak
6. adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya.
7. visi islam rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat islam berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi. Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia maupun diakhirat.
8. dalam memahami nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i, seperti wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman, dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi. Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash.
a) Fiqih
1. Sempurna. Syariat Islam diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat. Bagi hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad pemuka masyarakat.
2. Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat diterima di semua tempat dan di setiap saat. Selain itu, umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.
3. Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat belaku sepanjang masa.
4. Elastis. Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh manusia.
5. Universal dan Dinamis. Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa batas, tidak seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
6. Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada umatnya di muka bumi. Al-Qur’an juga merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.
7. Sistematis. Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
8. Perintah sholat dalam al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Perintah beriman dan bertakwa senantiasa dibarengi dengan perintah beramal saleh. Ini berarti hukum Islam tidak mandul yang hanya berkutat pada hubungan vertikal kepada Allah dan hanya berupa keyakinan semata. Akan tetapi merupakan hukum yang menyatu dengan hubungan horizontal sesama manusia dan hukum yang harus diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
9. Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi. Hukum Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di samping dua sumber pokok tersebut, ajaran Islam juga memiliki sumber lain yaitu konsensus masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah satu hukum yang berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah).
10. Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat ajaran yang bersifat ta’abbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan ada yang bersifat ta’aqquli (bersifat rasional).
b) Teologi
Islam nusantara adalah islam di
wilayah melayu (Asia tenggara). Karakter diktrinalnya adalah berpaham
Asy’ariyah dari segi kalam (teologi), berfikih mazhab syafi’i sekaipun menerima
mazhab yang lainnya dan menerima tasawuf model Imam Ghazali. Lalu mengkontraskannya
dengan islam arab yang berpaham teologi Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dan
berfiqih mazhab imam Amad bin Hambal yang katanya sangat rigid dan keras. Islam
jenis ini menolak tasawuf karena dianggap banyak bid’ahnya.
c) Tasawuf
c) Tasawuf
Pada umunya, para pengajar tasawuf atau para sufi adalah guru-guru
pengembara, mereka sering kali berhubungan dengan perdagangan, mereka
mengajarkan teosofi yang telah bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas
masyarakat Indonesia. Dengan tasawuf, bentuk islam yang diajarkan kepada para
penuduk pribumi mempunyai persamaan
dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya memeluk agama hindu, sehingga
ajaran islam dengan mudah diterima mereka.
C. Peran Para Ulama (Walisongo) dalam Pengembangan Islam Nusantara
C. Peran Para Ulama (Walisongo) dalam Pengembangan Islam Nusantara
Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar
dalam pengembangan islam di Indonesia. Bahkan mereka adalah perintis utama
dalam bidang dakwah islam di indonesia. Sekaligus pelopor penyiaran agama islam
di nusantara ini. “wali” adalah singkatan dari perkataan Arab Waliyullah dan
itu bermaksud “orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah” sedangkan “songo”
juga perkataan jawa yang bermaksud sembilan. Jadi “walisongo” merujuk kepada
wali sembilan yakni sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka diberi
gelaran yang sedemikian karena mereka dianggap penyiar-penyiar agama islam yang
terpenting. Karena sesungguhnya mereka mengajar dan menyebarkan islam.
Disamping itu, islam juga merupakan para intektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Adapun kesembilan wali tersebut adalah : Sunan
Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri
(Raden Paku), Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Syeikh
Syarifudin), Sunan Kudus (Syekh Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said),
Sunan Gunung Jati ( Sayid Syarif Hidayatullah), dan Sunan Kalijaga (Raden
Mahmud Syahid). Para Wali ini mempunyai cara pendekatan da’wah yang beragam
diantaranya :
1. Pendekatan Teologis
1. Pendekatan Teologis
Menanamkan dasar-dasar keyakinan dan pandangan
hidup islami yang dilakukan oleh Sunan Gresik dan Sunan Ampel dimana yang
menjadi sasaran adalah rakyat bawah yeng merupakan mayoritas penduduk.
2. Pendekatan Ilmiah
2. Pendekatan Ilmiah
Seperti yang dilakukan Sunan Giri yaitu dengan
mendirikan pesantren dan melakukan pelatihan da’wah secara sistematik,
metodelogis seperti permainan anak, lagu-lagu(lir –ilir, padang-padang bulan)
yang mengandung nilai dan makna islami. dan juga sekaligus penugasan da’i untuk
dikirim ke daerah-daerah seperti Madura, Bawean sampai Maluku.
3. Pendekatan kelembagaan
3. Pendekatan kelembagaan
Dengan mendirikan pemerintahan atau kerajaan,
lembaga peribadatan seperti masjid-masjid atau bangunan lainnya yang memberikan
ketertarikan masyarakat untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama Islam,
seperti yang dilakukan oleh Sunan Demak, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
4. Pendekatan Sosial
4. Pendekatan Sosial
Yang dilakukan oleh Sunan Muria dan Sunan
Drajat yang lebih senang hidup ditengah-tengah rakyat kecil yang jauh dari
keramaian, membina dan meningkatkan kualitas keagamaan dan kehidupan sosial.
5. Pendektan Kultural
5. Pendektan Kultural
Dengan kemampuan intelektual dan pendalamannya
terhadap islam Sunan Kalijaga, Sunan Bonang melakukan islamisasi budaya yaitu
budaya masyarakat yang telah ada diislamkan.
Aktualisasi Nilai Da’wah
Walisongo
Da’wah harus mempunyai
tujuan yang jelas, kesamaan arah meskipun berbeda-beda dalam cara
penyampaiannya, yakni mengubah keadaan masyarakat dari yang kurang baik menjadi
lebih baik secara syar’iyah maupun kemasyarakatan. Disamping itu keberhasilan
da’wah juga dipengaruhi oleh kualitas
para figur da’I yang dapat memberi teladan hidup sehari-hari yang selalu
menjadi “tuntunan” dan bukan hanya sebagai “tontonan” seperti pribadi-pribadi
para Wali yang sampai sekarang tetap diakui sebagai teladan dan panutan umat
islam khususnya di pulau Jawa.
a.
Tokoh yang pertama ialah Maulana Malik Ibrahim
yang berbangsa Arab dari keturunan Rasulullah. Beliau datang dari Kasyan,
Persia dan tiba di jawa pada 1404 sebagai penyebar agama islam dan menetap di
Leran, sebuah desa yang terletak di Gresik. Beliau telah menjalankan dakwah
islam dengan bijaksana dan dapat mengadaptasikan pengajarannya dengan
masyarakat sekeliling sehingga ramai rakyat tertarik dengan agama baru ini,
lalu memeluknya. Beliau telah memperkenalkan bidang perdagangan dan melalui
ini, beliau berjaya mendapat tempat dihati masyarakat di tengah-tengah krisis
ekonomi dan perang saudara. Dengan ini lah beliau telah berjaya menarik
orang-orang jawa dari kasta bawahan memeluk islam. Beliau juga merupakan
pencipta pondok atau pesantren pertama digresik, umumnya ditanah jawa. Pondok
ini dibina karena bilangan pengikutnya yang kian bertambah. Disinilah juga,
beliau melahirkan mubaligh-mubaligh islam yang bergiat di tanah jawa.
b.
Tokoh yang kedua ialah Sunan Ampel. Nama aslinya
adalah Raden Rahmat. Ia merupakan putra tertua Maulana Malik Ibrahim. Nama
Ampel diambil dari nama sebuah tempat ia bermukim, wilayah yang kini menjadi
bagian dari Surabaya, kota Wonokromo sekarang. Ia mendapat hadiah berupa daerah
Ampel Denta dari raja Majapahit. Di tempat inilah, Sunan Ampel membangun dan
mengembangkan pondok pesantren, yang dikenal dengan sebutan Ampel Denta. Pada
pertengahan abad ke-15 M, pesantren tersebut menjadi pusat pendidikan islam di
Nusantara, bahkan manca negara. Sunan Ampel pula yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), yaitu
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
c.
Tokoh ketiga ialah Sunan Giri yang dilahirkan
pada tahun 1365 di Blambangan. Ayahnya adalah Maulana Ishak seorang ulama Islam
dari Arab dan bermukmin di Pasai, Aceh. Suna Giri juga dikenali dengan Raden
Paku atau Maulana Ainul Yaqin dan merupakan seorang ulama yang dibekali dengan
pengatahuan agama yang mencukupi. Sunan Giri telah menyiarkan islam dan
menanamkannya ke dalam jiwa penduduk dalam berbagai cara. Beliau
telah mendirikan masjid dikampung laut sebagai langkah
pertama untuk menyebarkan islam dan sehingga kini masjid itu masih kekal dalam
bentuk asalnya meskipun telah dipindahkan ketempat lain. Selain itu beliau juga
telah memilih lokasi yang strategis untuk mendirikan pesantren-pesantren yang
telah bertahan sampai abad ke 17 untuk murid-muridnya untuk mengajarkan fiqih,
hadits, nahwu serta sharaf. Murid-muridnya pula bukan saja terdiri dari mereka
yang datang dari Surabaya, tetapi ada pula yang datang dari Madura, Lombok dan
Makassar. Dengan terdirinya pesantren-pesantren tersebut, ia menjadi pusat dan
markas gerakan dakwah yang terbesar dan terawal di jawa. Disamping itu, beliau
juga merupakan seorang pedagang yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia
seperti Kalimantan dan Sulawesi. Dengan inilah beliau telah berjaya memikat
ramai orang kaya dan orang-orang terpandang di Maluku, Pontianak dan
Banjarmasin untuk memeluk agama islam.
d.
Tokoh selanjutnya ialah Sunan Bonang. Ia
memainkan peranan yang sangat besar dalam penumbuhan kerajaan Demak didalam dakwahnya dan kedudukannya
sebagai penyokong kerajaan Demak, beliau telah berusaha memasukkan pengaruh
islam kedalam kalangan bangsawan keraton Majapahit. Ini dilakukannya dengan
memberi didikan islam kepada Raden Patah, Sultan Demak pertama. Selain itu
beliau juga membantu dalam penumbuhan Majid Agung di kota Bintora Demak.
Keistimewaan dan sekaligus pembaharuan yang dibuat oleh Sunan Bonang ialah kebijaksaan dan keunikannya
dalam berdakwah yang telah membuat hati rakyat agar datang ke masjid. Beliau
juga telah menciptakan alat musik jawa yang disebut Bonang serta tembang dan
gending-gending jawa yang berisikan ajaran islam untuk berdakwah. Bonang itu akan dibunyikan untuk menarik perhatian
masyarakat sekitar yang mendengarnya agar berkunjung ke masjid sementara
pengikut-pengikutnya pula diajarkan menyanyikan tembang-tembang, sehingga
mereka menghafalnya yang kemudian mereka pula akan mengajarkannya kepada ahli
keluarga masing-masing. Sedikit demi sedikit sunan Bonang dapat merebut hati
rakyat dan kemudian menanamkan pengertian yang teguh tentang islam.
e.
Tokoh selanjutnya ialah Sunan Kalijaga. Ia
lahir sekitar 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, seorang
keturunan pemberontak Majapahit, bernama Ronggolawe. Nama kecil Sunan Kalijaga
adalah Raden Said, dan mempunyai beberapa nama panggilan, seperti Lokajaya,
Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Sunan Kalijaga ikut
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Agung Demak. Tiang
tatal (pecahan kayu) merupakan salah satu tiang utama masjid, dan merupakan
kreasi Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan
gurunya, yaitu Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis
salaf, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayan sebagai sarana dakwahnya, dalam melakukan gerakan
dakwahnya, ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara.
Beliaulah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang
kalimasada, lakon lawak petruk jadi raja, lanskap pusat kota
berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
f.
Tokoh selanjutnya ialah Sunan Gunung jati atau
Syarif Hidayatullah. Lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara
Santang, putri Raja Pajajaran raden Manah Rasa, sedangkan ayahnya adalah Sultan
Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir, keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Ia mendirikan
Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Ia
merupakan satu-satunya Walisongo yang memimpin pemerintahan. Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan
Timur Tengah yang lugas.
g.
Tokoh selanjutnya ialah Sunan Drajat. Nama kecil sunan Drajat adalah raden Qosim dan
bergelar raden Syaifuddin. Ayahnya adalah Sunan Ampel, dan bersaudara dengan
Sunan Bonang. Ia memberikan materi tauhid dan aqidah dalam berdakwah, dan
dengan cara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Ia menggubah
sejumlah suluk, seperti suluk petuah berilah tongkat pada si buta / beri
makan pada yang lapar / beri pakaian pada yang telanjang.
h.
Tokoh selanjutnya ialah Suana Kudus. Nama
kecilnya adalah Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah,
adik Sunan Bonang. Sunan Kudus banyak berguru dari Sunan Kalijaga, dan cara
dakwahnya pun meniru Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran pada budaya setempat.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memnafaatkan simbol-simbol hindu dan budha, karena mayoritas
kalangan penduduk Kudus waktu itu beragama hindu.
i.
Tokoh selanjutnya ialah Sunan Muria. Ia
merupakan putra Dewi Saroh dan Sunan Kalijaga. Dewi Saroh adalah adik kandung
Sunan Giri. Nama kecil Sunan Muria adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil
dari tempat tinggal terakhirnya, yaitu lereng gunung muria. Dalam menyebarkan
ajaran islam, ia lebih suka tinggal di desa terpencil dan jauh dari kota. Salah
satu hasil dakwahnya adalah lagu sinom dan kinanti.
Dengan demikian , walisongo sesungguhnya telah
memainkan peranan yang penting dalam penyebaran agama islam di Nusantara, yaitu
dengan cara berdakwah. Para pedagang islam juga berperan sebagai mubaligh yang
datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran islam melalui dakwah
ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan
menggunakan pendekatan sosial budaya.
D. Praktek Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
D. Praktek Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Gagasan
Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari
dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan data-data filologis (naskah
catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan
penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan
fisik dan penolakan dari masyarakat. Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas
melalui adat dan tradisi masyarakat, makanya terdapat ungkapan di Minangkabau
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton
terdapat ajaran martabat tujuh dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari
undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran
Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan
tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah
Tanah Jawa. Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian
umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera,
Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga
mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis
dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat aksara
carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari
aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi
dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak,
dst.
Praktik Islam
Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal
tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan
kekhasan Islam Nusantara. Ajaran Islam
Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf
(sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal.
Praktik
keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan
sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di
masyarakat. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat
membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan
pribumi.
Jejaring Islam
Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang
terkesan bagian dari terorisme global. Karakter Islam
Nusantara dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran
Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang
berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
E. Pro dan Kontra Tentang Islam Nusantara
E. Pro dan Kontra Tentang Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara
akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu
keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin
adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu
satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an danAs-Sunah.
Dalam pengertian hukum yang ini kita sah dan wajar
menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika,
Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman,
pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil
dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi
Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap
bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai
tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an.
“Mengapa
Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini,
dapat disingkat sebagai berikut:
1.
Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih
(hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan
aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapakitab tertentu tetap
menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti
karya Kyai Jampers Kediri.
2.
Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan,
tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada
harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu
karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3.
Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam
itu dapat membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan
pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan. Tradisi yang baik tersebut perlu
dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu
lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4.
Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang
keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak
abad ke-18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah
berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat,
terutama di komunitas pesantren.
5.
Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga terdapat keserupaan dengan praktik tradisi Islam
di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko dan Yaman, sehingga Islam
Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau umat Islam Indonesia
semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting dilakukan untuk
mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari terorisme global.
6.
Karakter Islam Nusantara, seperti disebut
sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan
bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari
pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan
kerusakan alam.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peranan para walisongo dalam menyebarkan agama Islam
sangat dinamis sehingga islam sangat mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Para walisongo dalam penyampainnya menggunakan beberapa pendekatan atau saluran agar Islam dapat di anut oleh
masyarakat antara lain: saluran perdagangan,
saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran
kesenian dan saluran politik. Padahal pada
saat itu Indonesia tidak dalam kekosongan
kultural peradaban karena pada saat itu terdapat dua kerajaan besar
seperti kerajaan Hindu dan kerajaan Budha. Karena kerajaan hanya memikirkan keluarga
kerajaan (lapisan atas) sedangkan orang-orang yang berada dilapisan bawah (petani, budak, buruh) tidak mendapat perhatian dari kerajaan. Sehingga Islam
yang mempunyai ajaran yang tidak
memberatkan, luwes dan mengajarkan keadilan dan kebijaksanaan mudah masuk dalam lapisan-lapisan masyarakat.
Agama yang masih kuat dianut oleh masyarakat
sebelum Islam datang ke Indonesia, para walisongo menggabungkan kedua
ajaran agama tersebut. Sehingga sampai sekarang masih ada tradisi agama Hindu
maupun agama Budha yang di kerjakan sebagian masyarakat Indonesia.
B. SARAN
Berkaitan dengan makalah
ini, agar dapat memperoleh gambaran lebih baik, penulis menyarankan agar
pembaca, membagi ilmu yang dimilikinya kepada orang lain, sehingga manfaat dari
makalah ini juga dapat tersalurkan kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Antar Kota, 1983).
Anies, Afif Nadjih, Prospek Islam Dalam
Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press. 2005).
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).
Murodi,
Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: PT. Karya Toha Putra. 2011).
Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed), Sejarah Nasional
Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Sarkun, Dr. Mukhlas, islamnusantara.web.id/umum/islam-nusantara-antara-teoritik-dan-karakteristik
0 komentar:
Posting Komentar