Jumat, 26 Mei 2017

ISLAM NUSANTARA

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Banyak teori yang menjelaskan mengenai kedatangan islam ke Indonesia, baik mengenai asal-usul, waktu, dan para pembawanya. Terdapat teori yang mengatakan bahwa agama islam masuk ke Indonesia telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan islam di sekitar abad ke-7 M / 1 H, dan langsung dari Arab atau Persia. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa agama islam masuk ke Indonesia pada abad ke-11 M / 5 H. Bahkan ada yang berpendapat islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M dan berasal dari Gujarat atau India. Agama islam masuk Indonesia secara periodik, tidak sekaligus. Terdapat beberapa cara yang dipergunakan dalam penyebaran islam di Indonesia, seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, dan tasawuf. sejak zaman prsejarah, penduduk indonesia di kenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara  kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang di jual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting Sumatera dan Jawa antara abad ke 1 dan ke 7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera. Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. Mereka yang datang ke Indonesia bertujuan berdagang sekaligus menyebarkan agama yang mereka anut yaitu Islam.
B.   Rumusan Masalah
·         Apa itu islam nusantara secara pendekatan sosiologis, filosofis, dan historis?
·         Bagaimana karakteristik islam nusantara berdasarkan fiqih, teologi, dan tasawuf?
·         Bagaimana peran ulama (walisongo) dalam pengembngan islam nusantara?
·         Bagaimana praktek islam nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
·         Apa pro dan kontra islam nusantara?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Islam Nusantara
1.      Sosiologis
Islam nusantara adalah islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi destruktif dan vernakularisasi islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Islam nusantara yang kaya dengan warisan islam menjadi harapan renaisans peradaban islam global yang akan berakulturasi dengan tatanan dunia baru.
2.      Historis
Islam nusantara adalah sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab min adillatiha-tafshiliyah. Islam nusantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-rujhan. Islam nusantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama nusantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk dihormati, dan untuk kita teladani.
3.      Filosofis
Islam nusantara adalah islam sinkretik yang merupakan gabungan nilai islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal (non-teologis), budaya dan adat istiadat di tanah air.
B.     Karakteristik Islam Nusantara
Menurut istilah, Islam Nusantara harus bermula memahami pola dan karakter keislaman masyarakat muslim nusantara yang memang mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan corak keislaman Timur Tengah, tempat asal islam itu berkembang. Gagasan islam nusantara bukan sebuah aliran baru sebagaimana sempalan dan firqah, tetapi adalah sebagai upaya yang mencoba memotret keislaman dalam domain kawasan, sebagaimana yang pernah disarankan oleh Gusdur yang menantang para ilmuan islam untuk membuat teoritik apa yang disebut dengan studi islam berdasarkan kawasan. Gusdur telah membuat hipothesa bahwa ada enam studi kawasan islam : kawasan Timur Tengah, Afrika, daratan India, Asia Tengah termasuk Rusia, Nusantara dan Eropa. Menurut Gusdur masing-masing memiliki karakteristik yang menonjol.

Dalam konteks karakteristik islam nusantara dapat dilihat setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu: 
1.      islam nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya islam dapat berkembang dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang terbaik.
2.      penganut setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol dalam diri Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara berpikir islam timur tengah.
3.      para ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer dan yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit  adalah mazhab syafi’i, sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat Islam Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
4.      mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain sebagainya yang sangat populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah kemudian islam nusantara menjadi islam  yang sangat harmoni, toleran, dan menghargai pluralitas sebagai watak asli ajaran tasawuf.
5.      dalam bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak
6.      adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya.
7.      visi islam rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat islam berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi. Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia maupun diakhirat.
8.      dalam memahami nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i, seperti wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman, dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi. Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash.
a)      Fiqih
1.      Sempurna. Syariat Islam diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat. Bagi hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad pemuka masyarakat.
2.      Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat diterima di semua tempat dan di setiap saat. Selain itu, umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.
3.      Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat belaku sepanjang masa.
4.      Elastis. Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah,  jinayah dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh manusia.
5.      Universal dan Dinamis. Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa batas,  tidak seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
6.      Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada umatnya di muka bumi. Al-Qur’an juga merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.
7.      Sistematis. Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
8.      Perintah sholat dalam al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Perintah beriman dan bertakwa senantiasa dibarengi dengan perintah beramal saleh. Ini berarti hukum Islam tidak mandul yang hanya berkutat pada hubungan vertikal kepada Allah dan hanya berupa keyakinan semata. Akan tetapi merupakan hukum yang menyatu dengan hubungan horizontal sesama manusia dan hukum yang harus diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
9.      Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi. Hukum Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di samping dua sumber pokok tersebut,  ajaran Islam juga memiliki sumber lain yaitu konsensus masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah satu hukum yang berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah).
10.  Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat ajaran yang bersifat ta’abbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan ada yang bersifat ta’aqquli (bersifat rasional).
b)      Teologi
Islam nusantara adalah islam di wilayah melayu (Asia tenggara). Karakter diktrinalnya adalah berpaham Asy’ariyah dari segi kalam (teologi), berfikih mazhab syafi’i sekaipun menerima mazhab yang lainnya dan menerima tasawuf model Imam Ghazali. Lalu mengkontraskannya dengan islam arab yang berpaham teologi Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dan berfiqih mazhab imam Amad bin Hambal yang katanya sangat rigid dan keras. Islam jenis ini menolak tasawuf karena dianggap banyak bid’ahnya.
c)      Tasawuf
Pada umunya, para pengajar tasawuf atau para sufi adalah guru-guru pengembara, mereka sering kali berhubungan dengan perdagangan, mereka mengajarkan teosofi yang telah bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas masyarakat Indonesia. Dengan tasawuf, bentuk islam yang diajarkan kepada para penuduk pribumi mempunyai persamaan  dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya memeluk agama hindu, sehingga ajaran islam dengan mudah diterima mereka.
C.     Peran Para Ulama (Walisongo) dalam Pengembangan Islam Nusantara
Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengembangan islam di Indonesia. Bahkan mereka adalah perintis utama dalam bidang dakwah islam di indonesia. Sekaligus pelopor penyiaran agama islam di nusantara ini. “wali” adalah singkatan dari perkataan Arab Waliyullah dan itu bermaksud “orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah” sedangkan “songo” juga perkataan jawa yang bermaksud sembilan. Jadi “walisongo” merujuk kepada wali sembilan yakni sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka diberi gelaran yang sedemikian karena mereka dianggap penyiar-penyiar agama islam yang terpenting. Karena sesungguhnya mereka mengajar dan menyebarkan islam. Disamping itu, islam juga merupakan para intektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Adapun kesembilan wali tersebut adalah : Sunan Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Syeikh Syarifudin), Sunan Kudus (Syekh Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), Sunan Gunung Jati ( Sayid Syarif Hidayatullah), dan Sunan Kalijaga (Raden Mahmud Syahid). Para Wali ini mempunyai cara pendekatan da’wah yang beragam diantaranya :
1.      Pendekatan Teologis
Menanamkan dasar-dasar keyakinan dan pandangan hidup islami yang dilakukan oleh Sunan Gresik dan Sunan Ampel dimana yang menjadi sasaran adalah rakyat bawah yeng merupakan mayoritas penduduk.
2.      Pendekatan Ilmiah
Seperti yang dilakukan Sunan Giri yaitu dengan mendirikan pesantren dan melakukan pelatihan da’wah secara sistematik, metodelogis seperti permainan anak, lagu-lagu(lir –ilir, padang-padang bulan) yang mengandung nilai dan makna islami. dan juga sekaligus penugasan da’i untuk dikirim ke daerah-daerah seperti Madura, Bawean sampai Maluku.
3.      Pendekatan kelembagaan
Dengan mendirikan pemerintahan atau kerajaan, lembaga peribadatan seperti masjid-masjid atau bangunan lainnya yang memberikan ketertarikan masyarakat untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama Islam, seperti yang dilakukan oleh Sunan Demak, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
4.      Pendekatan Sosial
Yang dilakukan oleh Sunan Muria dan Sunan Drajat yang lebih senang hidup ditengah-tengah rakyat kecil yang jauh dari keramaian, membina dan meningkatkan kualitas keagamaan dan kehidupan sosial.
5.      Pendektan Kultural
Dengan kemampuan intelektual dan pendalamannya terhadap islam Sunan Kalijaga, Sunan Bonang melakukan islamisasi budaya yaitu budaya masyarakat yang telah ada diislamkan.
Aktualisasi Nilai Da’wah Walisongo
Da’wah harus mempunyai tujuan yang jelas, kesamaan arah meskipun berbeda-beda dalam cara penyampaiannya, yakni mengubah keadaan masyarakat dari yang kurang baik menjadi lebih baik secara syar’iyah maupun kemasyarakatan. Disamping itu keberhasilan da’wah juga dipengaruhi oleh  kualitas para figur da’I yang dapat memberi teladan hidup sehari-hari yang selalu menjadi “tuntunan” dan bukan hanya sebagai “tontonan” seperti pribadi-pribadi para Wali yang sampai sekarang tetap diakui sebagai teladan dan panutan umat islam khususnya di pulau Jawa.
a.    Tokoh yang pertama ialah Maulana Malik Ibrahim yang berbangsa Arab dari keturunan Rasulullah. Beliau datang dari Kasyan, Persia dan tiba di jawa pada 1404 sebagai penyebar agama islam dan menetap di Leran, sebuah desa yang terletak di Gresik. Beliau telah menjalankan dakwah islam dengan bijaksana dan dapat mengadaptasikan pengajarannya dengan masyarakat sekeliling sehingga ramai rakyat tertarik dengan agama baru ini, lalu memeluknya. Beliau telah memperkenalkan bidang perdagangan dan melalui ini, beliau berjaya mendapat tempat dihati masyarakat di tengah-tengah krisis ekonomi dan perang saudara. Dengan ini lah beliau telah berjaya menarik orang-orang jawa dari kasta bawahan memeluk islam. Beliau juga merupakan pencipta pondok atau pesantren pertama digresik, umumnya ditanah jawa. Pondok ini dibina karena bilangan pengikutnya yang kian bertambah. Disinilah juga, beliau melahirkan mubaligh-mubaligh islam yang bergiat di tanah jawa.
b.    Tokoh yang kedua ialah Sunan Ampel. Nama aslinya adalah Raden Rahmat. Ia merupakan putra tertua Maulana Malik Ibrahim. Nama Ampel diambil dari nama sebuah tempat ia bermukim, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, kota Wonokromo sekarang. Ia mendapat hadiah berupa daerah Ampel Denta dari raja Majapahit. Di tempat inilah, Sunan Ampel membangun dan mengembangkan pondok pesantren, yang dikenal dengan sebutan Ampel Denta. Pada pertengahan abad ke-15 M, pesantren tersebut menjadi pusat pendidikan islam di Nusantara, bahkan manca negara. Sunan Ampel pula yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), yaitu seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
c.    Tokoh ketiga ialah Sunan Giri yang dilahirkan pada tahun 1365 di Blambangan. Ayahnya adalah Maulana Ishak seorang ulama Islam dari Arab dan bermukmin di Pasai, Aceh. Suna Giri juga dikenali dengan Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin dan merupakan seorang ulama yang dibekali dengan pengatahuan agama yang mencukupi. Sunan Giri telah menyiarkan islam dan menanamkannya ke dalam jiwa penduduk dalam berbagai cara. Beliau telah mendirikan masjid dikampung laut sebagai langkah pertama untuk menyebarkan islam dan sehingga kini masjid itu masih kekal dalam bentuk asalnya meskipun telah dipindahkan ketempat lain. Selain itu beliau juga telah memilih lokasi yang strategis untuk mendirikan pesantren-pesantren yang telah bertahan sampai abad ke 17 untuk murid-muridnya untuk mengajarkan fiqih, hadits, nahwu serta sharaf. Murid-muridnya pula bukan saja terdiri dari mereka yang datang dari Surabaya, tetapi ada pula yang datang dari Madura, Lombok dan Makassar. Dengan terdirinya pesantren-pesantren tersebut, ia menjadi pusat dan markas gerakan dakwah yang terbesar dan terawal di jawa. Disamping itu, beliau juga merupakan seorang pedagang yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia seperti Kalimantan dan Sulawesi. Dengan inilah beliau telah berjaya memikat ramai orang kaya dan orang-orang terpandang di Maluku, Pontianak dan Banjarmasin untuk memeluk agama islam.
d.   Tokoh selanjutnya ialah Sunan Bonang. Ia memainkan peranan yang sangat besar dalam penumbuhan kerajaan Demak didalam dakwahnya dan kedudukannya sebagai penyokong kerajaan Demak, beliau telah berusaha memasukkan pengaruh islam kedalam kalangan bangsawan keraton Majapahit. Ini dilakukannya dengan memberi didikan islam kepada Raden Patah, Sultan Demak pertama. Selain itu beliau juga membantu dalam penumbuhan Majid Agung di kota Bintora Demak. Keistimewaan dan sekaligus pembaharuan yang dibuat oleh Sunan Bonang ialah kebijaksaan dan keunikannya dalam berdakwah yang telah membuat hati rakyat agar datang ke masjid. Beliau juga telah menciptakan alat musik jawa yang disebut Bonang serta tembang dan gending-gending jawa yang berisikan ajaran islam untuk berdakwah. Bonang itu akan dibunyikan untuk menarik perhatian masyarakat sekitar yang mendengarnya agar berkunjung ke masjid sementara pengikut-pengikutnya pula diajarkan menyanyikan tembang-tembang, sehingga mereka menghafalnya yang kemudian mereka pula akan mengajarkannya kepada ahli keluarga masing-masing. Sedikit demi sedikit sunan Bonang dapat merebut hati rakyat dan kemudian menanamkan pengertian yang teguh tentang islam.
e.    Tokoh selanjutnya ialah Sunan Kalijaga. Ia lahir sekitar 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, seorang keturunan pemberontak Majapahit, bernama Ronggolawe. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said, dan mempunyai beberapa nama panggilan, seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Sunan Kalijaga ikut merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Agung Demak. Tiang tatal (pecahan kayu) merupakan salah satu tiang utama masjid, dan merupakan kreasi Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan gurunya, yaitu Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayan sebagai sarana dakwahnya, dalam melakukan gerakan dakwahnya, ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara. Beliaulah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon lawak petruk jadi raja, lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
f.     Tokoh selanjutnya ialah Sunan Gunung jati atau Syarif Hidayatullah. Lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri Raja Pajajaran raden Manah Rasa, sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir, keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Ia merupakan satu-satunya Walisongo yang memimpin pemerintahan. Dalam berdakwah, ia menganut  kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
g.    Tokoh selanjutnya ialah Sunan Drajat. Nama kecil sunan Drajat adalah raden Qosim dan bergelar raden Syaifuddin. Ayahnya adalah Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Ia memberikan materi tauhid dan aqidah dalam berdakwah, dan dengan cara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Ia menggubah sejumlah suluk, seperti suluk petuah berilah tongkat pada si buta / beri makan pada yang lapar / beri pakaian pada yang telanjang.
h.    Tokoh selanjutnya ialah Suana Kudus. Nama kecilnya adalah Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah, adik Sunan Bonang. Sunan Kudus banyak berguru dari Sunan Kalijaga, dan cara dakwahnya pun meniru Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran pada budaya setempat. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memnafaatkan simbol-simbol hindu dan budha, karena mayoritas kalangan penduduk Kudus waktu itu beragama hindu.
i.      Tokoh selanjutnya ialah Sunan Muria. Ia merupakan putra Dewi Saroh dan Sunan Kalijaga. Dewi Saroh adalah adik kandung Sunan Giri. Nama kecil Sunan Muria adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya, yaitu lereng gunung muria. Dalam menyebarkan ajaran islam, ia lebih suka tinggal di desa terpencil dan jauh dari kota. Salah satu hasil dakwahnya adalah lagu sinom dan kinanti.
Dengan demikian , walisongo sesungguhnya telah memainkan peranan yang penting dalam penyebaran agama islam di Nusantara, yaitu dengan cara berdakwah. Para pedagang islam juga berperan sebagai mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya.
D.    Praktek Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan data-data filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat. Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat, makanya terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak, dst.
Praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan kekhasan Islam Nusantara. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal.
Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi.
Jejaring Islam Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari terorisme global. Karakter Islam Nusantara dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
E.     Pro dan Kontra Tentang Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an danAs-Sunah.
Dalam pengertian hukum yang ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an.
“Mengapa Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini, dapat disingkat sebagai berikut:
1.    Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapakitab tertentu tetap menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti karya Kyai Jampers Kediri.
2.    Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3.    Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan.  Tradisi yang baik tersebut perlu dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4.    Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di komunitas pesantren.
5.    Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga terdapat keserupaan dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari terorisme global.
6.    Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Peranan para walisongo dalam menyebarkan agama Islam sangat dinamis sehingga islam sangat mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Para walisongo dalam penyampainnya menggunakan beberapa pendekatan atau saluran agar Islam dapat di anut oleh masyarakat antara lain: saluran perdagangan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran kesenian dan saluran politik. Padahal pada saat itu Indonesia tidak dalam kekosongan kultural peradaban karena pada saat itu terdapat dua kerajaan besar seperti kerajaan Hindu dan kerajaan Budha.  Karena kerajaan hanya memikirkan keluarga kerajaan (lapisan atas) sedangkan orang-orang yang berada dilapisan bawah (petani, budak, buruh) tidak mendapat perhatian dari kerajaan. Sehingga Islam yang mempunyai ajaran yang tidak memberatkan, luwes dan mengajarkan keadilan dan kebijaksanaan mudah masuk dalam lapisan-lapisan masyarakat. Agama yang masih kuat dianut oleh masyarakat sebelum Islam datang ke Indonesia, para walisongo menggabungkan kedua ajaran agama tersebut. Sehingga sampai sekarang masih ada tradisi agama Hindu maupun agama Budha yang di kerjakan sebagian masyarakat Indonesia.
B.     SARAN
Berkaitan dengan makalah ini, agar dapat memperoleh gambaran lebih baik, penulis menyarankan agar pembaca, membagi ilmu yang dimilikinya kepada orang lain, sehingga manfaat dari makalah ini juga dapat tersalurkan kepada orang lain.










DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983).
Anies, Afif Nadjih, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press. 2005).
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: PT. Karya Toha Putra. 2011).

Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

Sarkun, Dr. Mukhlas, islamnusantara.web.id/umum/islam-nusantara-antara-teoritik-dan-karakteristik



0 komentar:

Posting Komentar