BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Akad
perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata semata, melainkan
ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan
kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam perkawinan. Untuk itu
perkawinan harus dipelihara dengan baik.[[1]] Suatu
perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang harmonis
dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia
sepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan
lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri
sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun demikian kenyataan hidup membuktikan
bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu
bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang
dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan.
Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan
hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat
menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.[[2]]
Muculnya
pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan
pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya
memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis
menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi
kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.[[3]]
Mengenai hal tersebut,
berikut penulis akan memaparkan bagaimana putusnya perkawinan dan bagaimana
penyelesaiannya.
B. RUMUSAN MASALAH
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
2. Bagaimana akibat hukum putusnya perkawinan?
3. Bagaimana tata cara perceraian?
4. Temuan (paraplase)
C. TUJUAN
2. Bagaimana akibat hukum putusnya perkawinan?
3. Bagaimana tata cara perceraian?
4. Temuan (paraplase)
C. TUJUAN
Mengetahui bagaimana
putusnya perkawinan, akibat hukum dari putusnya perkawinan serta tata cara
perceraian.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PUTUS
PERKAWINAN
Putus
perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus.
Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria
dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah seorang antara keduanya pergi
ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap
bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan
perkawinan suami istri dapat putus dan atau bercerainya antara seorang pria
dengan seorang wanita yang diikat dengan tali perkawinan.[[4]]
Perceraian
dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang
oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَبْغَضَ
ْالحَلاَلِ إِلَى الّلهُ الطَّلاَقُ (رواه ابوداودوابن ماجه والحاكم)
“sesuatu perbuatan
halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).[[5]]
Berdasarkan
hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir
(pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan
(rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutanya.
Putusnya
perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas inisiatif istri.
Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya yaitu dengan talak
dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri dapat memohon cerai
melalui pengadilan dengan jalankhulu’ dengan mengembalikan mahar (iwadh).
Akan tetapi dalam hukum di Indonesia mengatur so’al perceraian tidak demikian
sederhana, semula karena tadinya suami mempunyai hak untuk menalak istrinya
seolah-olah tindakan sepihak, maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan
permohonan cerai kepada pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian
meskipun bernama permohonan (bersifat voluntair atau sepihak) menurut instruksi
pihak termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak mohon banding bila
keputusan tidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan
(bersifat contentious/dua pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan
sungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia,
kini tidak demikian lagi.[[6]]
Dalam
prakteknya penundaan-penundaan penyelenggaraan perceraian sebagai suatu usaha
agar talak dibatalkan bukan hanya dilakukan oleh P.P.N./P3.N.T.R, BP 4 saja,
melainkan lurah atau kepala kampung juga telah banyak memberikan
nasehat-nasehat. Bahkan sementara lurah (di daerah Jawa) mempunyai kebiasaan,
apabila ada suami/istri yang melaporkan diri hendak bercerai maka yang
bersangkutan itu dipersilahkan datang dilain hari, yakni pada hari dan pasaran
yang sama dengan waktu pernikahannya dulu, jadi kalau pernikahannya rabu wage
dengan demikian ada kemungkinan jika yang bersangkutan harus menunggu harus
lebih dari satu bulan. Dalam hal ini tidak jarang terjadi bahwa yang
bersangkutan itu membatalkan kehendak cerainya.[[7]]
Setidaknya ada empat
kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu
terjadinya perceraian yaitu:
a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Nusyuz
bermakna kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Hal ini bisa
terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat
mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka dalam hal ini dapat diselesaikan
dengan (1) istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf, (2) pisah
ranjang, apabila dengan cara ini tidak berhasil maka langkah berikutnya adalah
(3) memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, penting untuk dicatat yang
boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti
betisnya.
b. Nusyuz suami terhadap istri
b. Nusyuz suami terhadap istri
Kemungkinan
nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk
memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, suami
tidak memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti
istrinya baik lahir maupun batin, fisik maupun mental. Jika suami melalaikan
kewajibannya berulang kali dan istrinya mengingatkanya namun tetap tidak ada
perubahan maka istri diminta untuk lebih bersabar dan merelakan hak-haknya
dikurangi untuk sementara waktu. Semua itu bertujuan agar perceraian tidak
terjadi.
c. Terjadinya syiqaq
c. Terjadinya syiqaq
Tampaknya
alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh
alasansyiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan
bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara
suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi
didamaikan harus melalui beberapa proses.
d. Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.[[8]]
d. Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.[[8]]
Persoalan
putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang disebutkan
bahwa :
Pasal 38
Selain itu, KHI menjelaskan beberapa istilah yang
berkaitan dengan perceraian :
1) Talak
1) Talak
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan
agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Talak
ada dua macam yaitu :
a. Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri dalam masa iddah (pasal 188 KHI).
b. Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in sughra dapat dibagi menjadi :
a. Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri dalam masa iddah (pasal 188 KHI).
b. Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in sughra dapat dibagi menjadi :
- Talak yang terjdi
qabla al-dukhul;
- Talak dengan tebusan
atau khulu’;
- Talak yang dijatuhkan
oleh pengadilan agama (pasal 119 KHI ayat 2).
2) Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddah (pasal 120 KHI).
c. Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan kepada seorang istri yang sedang suci dan tidak icampuri dalam waktu suci tersebut (pasal 121 KHI).
d. Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi sitri dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)
2) Khuluk, merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk menebus dirinya dari ikatan suaminya.[[10]]
3) Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal 126 KHI).[[11]]
2) Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddah (pasal 120 KHI).
c. Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan kepada seorang istri yang sedang suci dan tidak icampuri dalam waktu suci tersebut (pasal 121 KHI).
d. Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi sitri dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)
2) Khuluk, merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk menebus dirinya dari ikatan suaminya.[[10]]
3) Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal 126 KHI).[[11]]
Perceraian harus
berdasarkan alasan yang limitative, Alasan terjadinya perceraian disebutkan
dalam pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 KHI :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f.
Antara suami/istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.[[12]]
Dalam
KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku khusus
kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu suami
melanggar taklik talak, Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.[[13]]
B. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
B. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Akibat
yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang
istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam
undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan
perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu:
1. Akibat talak
1. Akibat talak
Ikatan
perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat
hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib :
a) Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b) Memberi nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in ataunusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d) Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.
a) Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b) Memberi nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in ataunusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d) Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI
tersebut bersumber dari surat Al-Baqarah ayat 235 dan 236 sebagai berikut :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ
أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (٢٣٥)
لَّا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ
وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى
ٱلْمُحْسِنِينَ (٢٣٦)
Artinya :
“dan tidak ada dosa
bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan
janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah
bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan
ketahuilah bahwa Allah maha pengampun, maha penyantun”
“Tidak ada dosa bagimu
jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau
belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah. Bagi yang
mampu menurut kemampuanya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya,
yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Baqarah : 235-236).
2. Akibat perceraian (cerai gugat)
2. Akibat perceraian (cerai gugat)
Cerai
gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan,
yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud, sehingga
putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Cerai
gugat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَنَّ
امْرَأَةُ قَلَتْ يَارَسُوْلُالله إِنَّابْنِى هداكَانَتْ بَطْنِى
لَهُوِعَاءٌوَثَدْ بِى لَهُ سَقَاءٌوَحَجْرِى لَهُ حَوَاءُوَاِنَّ اَبَاهُ
طَلَّقْنِى وَاَرَادَاَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى فَقًالَ لَهَارَسُوْل الله صلعم
اَنْتَ اَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى (رواه احمدوابوداود)
Artinya :
“seorang perempuan
berkata pada Rasulullah SAW : wahai Rasulullah SAW. Saya yang mengandung anak
ini, air susuku yang diminumya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku),
ayahnya telah menceraikanku dan dia ingin memisahkannya dariku” maka Rasulullah
bersabda : “kamu lebih berhak (memeliharanya) selama kamu tidak menikah” (HR
Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim menshahihkanya)
Pasal 156 KHI mengatur
mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu
diungkapkan sebagai berikut :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :
1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu.
2) Ayah.
3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas ayah.
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menrut garis samping ibu.
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :
1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu.
2) Ayah.
3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas ayah.
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menrut garis samping ibu.
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b.
Anak yang sudah mumayiz berhak
memilih untuk mendapat hadanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang memiliki hak hadanah pula.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah memberi putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang memiliki hak hadanah pula.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah memberi putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f.
Pengadilan dapat pula dengan mengingat
kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut kepadanya.
3.
Akibat khulu’
Perceraian
yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus
karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari
ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi
atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada
dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah
perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat
dirujuk. Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian
dengan khulu’ mengirangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk”
4. Akibat li’an
4. Akibat li’an
Perceraian
yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus
selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh
istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI
merumuskan garis hukum sebagai berikut :
Bila
mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak
yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.
5. Akibat ditinggal mati suami
5. Akibat ditinggal mati suami
Kalau
perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka sitri menjalani masa
iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat
bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu pasal 157 KHI, harta bersama
dibagi menurut ketentuan sebagaimana disebut dalam pasal 96 dan 97. Pasal 96
KHI menjelaskan ikatan perkawinan yang putus karena salah seorag pasangan suami
istri meninggal sehingga pembagian harta bersama dibagikan oleh ahli waris
berdasarka proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup. Pembagian harta
bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun, bila
harta bersama belum ada, karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat singkat,
maka pihak yang masih hidup tidak dapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu
putus sebagai akibat cerai hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda
atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Selain
itu, perlu juga dijelaskan bahwa untuk mementukan hilangnya salah seorang suami
istri, baik istri atau suami yang hilang adalah pembuktian autentik yang dapat
diterima oleh berbagai pihak secara hukum.[[14]]
C. TATACARA PERCERAIAN
C. TATACARA PERCERAIAN
Perceraian
dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran agama
Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan,
kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan
terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian
diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan
pasal 115 KHI.[[15]]
Tatacara perceraian
bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian
dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
1. Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai)
1. Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai)
Apabila
suami yang mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya,
kemudian sang istri menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal
66 UUPA :
1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
5) Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[[16]]
1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
5) Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[[16]]
Sesudah
permohonan cerai talak diajukan kepengadilan agama, pengadilan agama melakukan
pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan
tersebut, sebagai mana tersebut dalam :
Pasal 68
1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[[17]]
1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[[17]]
Pasal 131 KHI
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[[18]]
2. Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[[18]]
2. Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
Cerai
gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami)
menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh
karena itu khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian
yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau
uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana
disebutkan dalam :
Pasal 73 UUPA
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[[19]]
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[[19]]
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk
mengajukan gugatan :
a) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
b) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[[20]]
a) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
b) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[[20]]
Pengadilan
setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami
istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76 ayat (2) UUPA ).[[21]]
Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggungat atau tergugat
atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat
mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah, Menurut
pasal 77 UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin dapat atas permohonan
istri atau pertimbangan pengadilan sendiri.[[22]]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat, pengadilan dapat :
a. Menerima nafkah yang ditanggung suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menemukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).[[23]]
a. Menerima nafkah yang ditanggung suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menemukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).[[23]]
Gugatan
tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan
pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian,
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan
telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian
dimaksudkan memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum
pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya
bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup.[[24]]
Mengenai
pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan
dikepaniteraan (pasal 80 ayat (1) UUPA). untuk menghindarkan ketidak hadiran
pihak-pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat yang dijelaskan
dalam Pasal 82 UUPA yang merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9
Tahun 1975 sebagai berikut :
1) Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
2) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.[[25]]
1) Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
2) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.[[25]]
Kalau
sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan
mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap
terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang
berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran
pemeriksaan perkara dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah perkara perceraian
diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan keputusan dikirim
kepada pihak-pihak yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).[[26]]
Selain salinan putusan
dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84 UUPA :
1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
3) Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.[[27]]
1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
3) Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.[[27]]
Apabila
terjadi kelalaian pengiriman salinan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat
pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi
bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman
salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari bebagai pihak
yang membutuhkannya.[[28]]
Pencatatan
dan pengawasan talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping
pencatatan kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[[29]]
Adapun
pada BAB IV bagian kedua, paragraph 4 terdapat pada pasal 87 dan 88 UUPA
mengatur tata cara pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan zina. Tata cara
diatur dalam paragraph ini meliputi perkara cerai talak maupun cerai gugat dan
difokuskan pada tata cara pembuktian dalil zina dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Upaya pembuktian yang bagaimana dan cara bagaimana menerapkan
pembuktian tersebut oleh para pihak :[[30]]
Pasal 87 UUPA.
1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atas gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatanya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.[[31]]
1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atas gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatanya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.[[31]]
Perceraian
berdasarkan zina tersebut merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan
perundang-undangan. Apabila diperhatikan Al-Qur’an, dijelaskan bahwa seorang
yang menuduh perempuan lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak
mendatangkan empat orang saksi maka dia diancam hukum had sebanyak 80 kali
cambuk, hal ini didasarkan surat An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinnya :
“Dan orang-orang yang
menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)[[32]]
Ketentuan yang terkandung dalam surat An-Nur mengandung asas in flagrante
Delicto, keterbuktian suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada
seseorang, pembuktiannya berupa alat bukti saksi. Supaya kesaksian tersebut
mempunyai nilai kekuatan pembuktian, para saksi yang bersangkutan harus
benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang didakwa
berada dalam keadaan “tertangkap basah” sedang berhubungan kelamin secara fisik
dan biologis.[[33]]
Apabila
ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sanksi hukum bagi orang yang
menuduh zina tanpa disertai saksi sangat tipis perbedaanya dengan pelaku zina
itu bila terbukti berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi. Namun
apabila tuduhan itu dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga
tergolong dalam pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak
dapat menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak
berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in kubra yang antara keduanya tidak
boleh menikah lagi untuk selama-lamanya. Pembuktianya adalah mengucapkan sumpah
empat kali, dan kelima ikrar yang menyatakan kesediaanya untuk menerima laknat
Allah, apabila tuduhannya itu bohong. Demikian juga pihak istri, diberikan
kesempatan untuk menyanggah tuduhan suaminya itu dengan mengucapkan empat kali
sumpah dan kelimanya menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara
inilah yang disebut dengan li’an (mula’anah). Sanksi hukuman yang lain
adalah hukuman moral kepribadianya, yaitu persaksianya tidak diterima untuk
selama-lamanya. Sebab ia termasuk orang fasik, bila ia tidak membuktikan
tuduhanya.[[34]]
D. TEMUAN (PARAPLASE)
D. TEMUAN (PARAPLASE)
Banyak
kalangan yang mengkritik bahwa diskursus tentang perceraian menurut
perundang-undangan di Indonesia sebenarnya masih menimbulkan tanda tanya besar.
Hal ini disebabkan oleh besarnya peran yang dimiliki lembaga peradilan untuk
menentukan putus tidaknya sebuah perkawinan. Sebagaimana yang diungkap dalam
UUP No. 1/1974, UUPA No. 7/1989, PP No. 9/1975 dan KHI semunya menyatakan bahwa
“perceraian hanya dapat
dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
Bagi
umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relative
masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum
terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini
berkembang yaitu aturan fikih. Aturan fiqih mengizinkan perceraian atas dasar
kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri
secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga
peradilan. Aturan perceraian yang tertera dalam UUP No. 1/1974 ini serta aturan
pelaksanaan lainya, semisal PP No.9/1975 dirasakan terlalu jauh perbedaanya
dengan kesadaran hukum yang ada ditengah masyarakat muslim sehingga menimbulkan
kesulitan lapangan.
Persoalan
yang cukup krusial untuk di diskusikan lebih lanjut adalah tentang posisi
pengadilan agama dalam memutuskan perkawinan. Jika kita cermati pasal-pasal
yang menyangkut perceraian maka ada empat kesimpulan yang dapat ditarik :
1. Perceraian itu dilakukan oleh para pihak sendiri, dengan cara pengucapan ikrar talak oleh suami. Pengadilan hanya berfungsi menyaksikan dan memberi keterangan tentang telah terjadinya perceraian.
2. Perceraian dan karena itu penyaksian pengadilan harus dilakukan didepan sidang pengadilan yang diadakan untuk itu. Jadi penyaksian pengadilan diluar sidang atau sidang yang tidak diadakan khusus untuk itu tampaknya tidak di izinkan.
3. Secara implisit bisa dikatakan bahwa perceraian boleh dan baru sah apabila dilakukan di depan pengadilan.
4. Perceraian dianggap terjadi sejak talak diucapkan suami didepan pengadilan tersebut.
1. Perceraian itu dilakukan oleh para pihak sendiri, dengan cara pengucapan ikrar talak oleh suami. Pengadilan hanya berfungsi menyaksikan dan memberi keterangan tentang telah terjadinya perceraian.
2. Perceraian dan karena itu penyaksian pengadilan harus dilakukan didepan sidang pengadilan yang diadakan untuk itu. Jadi penyaksian pengadilan diluar sidang atau sidang yang tidak diadakan khusus untuk itu tampaknya tidak di izinkan.
3. Secara implisit bisa dikatakan bahwa perceraian boleh dan baru sah apabila dilakukan di depan pengadilan.
4. Perceraian dianggap terjadi sejak talak diucapkan suami didepan pengadilan tersebut.
Dari
ke empat hal ini tampaknya yang paling dominan adalah izin (keputusan)
pengadilan yang baru diberikan setelah ada keyakinan terpennuhinya
alasan-alasan perceraian. Kesimpulannya peran pengadilan dalam persoalan ini
pasif, artinya lebih dekat kepada mempersaksikan adanya fakta-fakta dari pada
peran memeriksa, apalagi memutus sengketa.
Tanggapan
penulis dari berbagai persoalan diatas dapat di tarik beberapa alasan tentang
posisi peradilan agama dan undang-undang yang menurut beberapa kalangan masih
banyak persoalan-persoalan yang dipandang tidak selaras dengan hukum Islam
yaitu fiqih. Alasan-alasan tersebut secara garis besar dapat kita kelompokkan
yaitu :
1. Kehadiran pengadilan adalah untuk meluruskan adalah untuk meluruskan segala tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus talak seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus berfikir mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga ia lebih hati-hati dan rasional.
2. Melalui proses pengadilan diharap pengguna hak talak dilakukan secara benar dan dilakukan secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
3. Pengadilan sebenarnya hanya berfungsi sebagai hakam seperti yang dianjurkan oleh syari’at Islam.
4. Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak danMut’ah.
1. Kehadiran pengadilan adalah untuk meluruskan adalah untuk meluruskan segala tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus talak seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus berfikir mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga ia lebih hati-hati dan rasional.
2. Melalui proses pengadilan diharap pengguna hak talak dilakukan secara benar dan dilakukan secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
3. Pengadilan sebenarnya hanya berfungsi sebagai hakam seperti yang dianjurkan oleh syari’at Islam.
4. Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak danMut’ah.
Dan
untuk selanjutnya, menyatakan keharusan izin dari pengadilan untuk talak
berdasarkan pemikiran bahwa ada hukum yang membolehkan tindakan tertentu. Hukum
seperti ini harus dipertahankan kecuali kalau ternyata kehadirannya
bertentangan dengan maslahat. Keharusan adanya izin dari pengadilan untuk talak
bukan saja bersifat anjuran tetapi lebihdari itu memberikan maslahah yang cukup
besar bagi pihak-pihak yang terlibat perceraian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Putus
perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus.
Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan.
Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan
seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam
undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian
nafkah kepada istri dan anak, pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris
mewarisi antara seorang apabila putusnya perkawinan tersebut akibat kematian
salah satu pihak. Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau
pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu
cerai talak (yang diajukan oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan
oleh pihak istri) yang masing-masng diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal
131 KHI untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai
gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan
zina.
Banyak
kalangan yang mengatakan bahwa peran pengadilan pasif hanya bersifat pasif,
hanya untuk melegalkan ikrar talak. Tetapi pada dasarnya peran pengadilan
sangatlah efektif untuk mencegah adanya perceraian dan untuk meluruskan
keluarga yang bertikai. Yang menarik dari perkembangan hukum perceraian adalah
diman Undang-Undang dalam kasus perceraian apakah melalui talak atau cerai
gugat telah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara
sama-sama dapat mengajukan permohonan cerai, dan pengadilan adalah pihak yang
menentukan dapat atau tidaknya perceraian itu terjadi dengan mempertimabngkan
hal-hal tertentu.
B. KRITIK DAN SARAN
B. KRITIK DAN SARAN
Demikianlah
makalah tentang putus perkawinan dan akibat hukumnya serta tatacara perceraian
yang telah penulis paparkan guna memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari
makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
Achmad Roestandi dan Muchidin Efendi. Komentar
Atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum
Islam. ( Bandung : Nusantara Press, 1991). Hal 270
0 komentar:
Posting Komentar